Berbagi Air Berbagi Rejeki

Oleh : Prof. Dr. Ir. Dorothea Agnes Rampisela, M.Sc

AgnesSensei.com — Artikel ini merupakan seri ke-4 dari pidato berjudul “Sumber Daya Air : Kelimpahan, Kekurangan dan Keamanan pada Era Kemanusiaan ” pada upacara penerimaan jabatan Guru Besar dalam bidang pengelolaan air pada Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin di depan Rapat Senat Terbuka Luar Biasa Universitas Hasanuddin. Kamis, 18 Januari 2017 di Unhas, Makassar.

***

Judul di atas adalah semboyan untuk penelitian trans-disciplinary yang saya implementasikan di wilayah pengairan Bili-bili. Penelitian sepanjang aliran sungai Jeneberang  mulai dari hulu sampai ke hilir telah saya lakukan.

Untuk disebutkan hal yang menonjol di hulu adalah perhitungan ketersediaan air untuk waduk Bili-bili dan pendekatan partisipatoris untuk menghindari bencana lanjutan dari runtuhnya salah satu puncak anak Gunung Bawakaraeng. 

Curah hujan selama sebelum kejadian (November 2003-Maret 2004) adalah 4,514 mm jauh lebih tinggi dibandingkan dengan rata2 30 tahun sebelumnya (1977-2005) yang hanya sejumlah 3032 mm.

Tingginya curah hujan menyebabkan tekanan air  pori yang tinggi dan berkontribusi pada runtuhnya salah satu puncak anak  Gunung Bawakaraeng pada 26 Maret 2004  (Dhanio et al, 2008).

Salah satu cara untuk mengetahui perubahan yang terjadi pada suatu Daerah Aliran Sungai (DAS)  adalah dengan pengamatan debit air, karena perubahan yang terjadi pada lanskap mempengaruhi waktu dan jumlah air yang mengalir, bahkan mempengaruhi bentuk sungai dan kestabilannya (Dunne, 1978). 

Data curah hujan dan debit sungai Jeneberang saat itu telah mulai direkam dengan teknologi  canggih yang mengirim data real time secara otomatis ke Dam Operational Office.

Kalau saja  kita semua termasuk peneliti rajin menganalisis data hasil pengamatan maka walaupun runtuhnya salah satu puncak anak gunung Bawakaraeng ini tidak dapat dicegah, namun mungkin kita dapat menyelamatkan 32 nyawa yang sebagian besar sedang mengurus sawahnya di lembah sungai Jeneberang.

Data harus dimanfaatkan untuk kemanusiaan.

Salah satu bangunan fisik yang diandalkan untuk menahan sedimen secamcam ini adalah Sabo dam. Sabo sebenarnya adalah metode konservasi tanah atau pengelolaan sedimen.

Ini adalah sistem yang dikembangkan di Jepang dan diperkenalkan ke Indonesia sejak awal tahun 1970 an dengan tujuan melindungi masyarakat dari aliran debris dan letusan gunung berapi (Hargono, 2002).

Di wilayah tengah DAS Jeneberang  penelitian terkait relokasi penduduk untuk pembangunan dam Bili-bili , memperlihatkan bahwa relokasi dengan ganti rugi yang memadai nilai uangnya saja, tidaklah cukup untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat.

Justru program yang lebih meningkatkan harkat manusia dan daya inovasi lebih berhasil dan sustainable (Yoshida et al, 2014).

Selain itu berbagai penelitian tentang  kapasitas waduk dalam mengantisipasi probabilitas banjir tahunan dan 50 tahunan dan ketersediaan air irigasi juga telah saya laksanakan bersama rekan-rekan peneliti, LSM, dan mahasiswa bimbingan saya.

Pada kesempatan ini saya ingin memperkenalkan  dam dan waduk Bili-bili dengan angka.

Luas DAS Jeneberang adalah 747 km2 dengan sungai utama adalah Sungai Jeneberang yang panjangnya 90 km. Ini berasal dari Gunung Bawakaraeng (2833m). 

Anak sungai yang terkenal adalah Sungai Malino di bagian hulu dan Sungai Jenelata di bagian hilir dam Bili-bili ( Ditjen Sumber Daya Air,  et al 1988). 

Sebagian wilayah hulu ini  merupakan daerah tangkapan hujan  seluas  384 km2 di bagian hulu DAS Jeneberang. 

Dam Bili-bili sepanjang 740 m  dengan sayap kanan dan sayap kiri  masing-masing 412m dan 646 m, membentuk waduk Bili-bili yang memiliki kapasitas tampung sebesar 346 juta m3 ditambah dengan 29 juta m3 untuk penampungan sedimen (dead storage).

Kapasitas untuk pengontrol banjir disiapkan sebesar 41 juta m3. Air yang tertampung di waduk ini kemudian di alirkan kembali ke Sungai Jeneberang di bagian hilir dan akan ditangkap oleh bendung pengambil air yaitu berturut-turut dari hulu ke hilir bendung Bili-bili, Bendung bissua dan Bendung Kampili yang masing-masing mengalirkan air melalui sistem pengaliran air mulai dari saluran primer, saluran sekunder dan saluran tersier sebelum sampai ke lahan pertanian atau lahan sawah.

Panjangnya proses pengaliran air ini memerlukan pengaturan yang rumit dan rinci  yang mengakibatkan terjadinya tingkat kehilangan air yang tinggi.

Teknologi saja tidak akan cukup. Dibutuhkan SDM dan etika serta kemampuan manajemen air yang tinggi untuk membaginya dengan adil dan cukup (Kubota and Rampisela, 2016)

Kendala yang umum dihadapi adalah bahwa petani ingin seaman mungkin sehingga mengambil air sebanyak-banyaknya yang tanpa disadarinya membuat tingkat kehilangan air semakin bertambah sehingga sebagian petani di wilayah hilir tidak memperoleh air (Rampisela, 2011).

Untuk mengatasi masalah ini dilakukan pengamatan dan pengukuran yang akurat selama 1 tahun pertama yang melibatkan masyarakat.

Ikut sertanya masyarakat pada tahap ini ternyata memberikan legitimasi tinggi terhadap data penelitian dan tingkat kepercayaan masyarakat meningkat.

Mereka dapat melihat bahwa ini adalah data di lapangan dan di lahan mereka sendiri bukanlah sekedar teori akademik.

Kemudian masalah dapat dibaca dari data untuk memperkuat masukan dan permasalahan yang dihadapi masyarakat.

Serangkaian diskusi dilaksanakan pada berbagai tingkatan. Misalnya diskusi pada tingkat P3A antara semua petani yang menggunakan air dari saluran tersier yang sama.

Terdapat 303 P3A di wilayah pengairan Bili-bili, itu berarti minimal ada 300 saluran tersier. Saluran tersier ini memperoleh air dari sekitar 30 saluran sekunder yang merupakan wilayah kerja dari 24 GP3A.

Ketua P3A dan ketua GP3A adalah perwakilan petani yang seharusnya berkomunikasi dengan petugas-petugas atau penjaga pintu air yang mengatur pergiliran  dan jumlah pengaliran air ke wilayah tertentu.

Komunikasi antar P3A, dan dengan GP3A serta petugas pintu air dilaksanakan dalam serangkaian diskusi bertahap dan berjenjang serta lintas dan menghasilkan kesepakatan jadwal.

Keistimewaan jadwal ini adalah membawa air sampai ke wilayah paling jauh dari sumber air (maksudnya paling hilir, jika air sudah cukuo barulah bertahap bagian hulu sistem penyaluran air memperoleh gilirannya.

Hal yang baru dan sulit serta mustahil ini kami cobakan bersama seluruh petani dan petugas pintu air disaksikan kepala desa dan stakeholders lainnya.

Kesuksesan memberikan air pada petani yang lahannya belum pernah memperoleh air irigasi merupakan pengalaman yang sangat membahagiakan baik pada petani di bagian hulu yang harus bersabar maupun petani bagian hilir.

Penelitian ini  berdasarkan pada perhitungan kebutuhan air irigasi (Oue at al, 2013 dan Rampisela, 2012) dan hanya dapat berlangsung dengan berdasarkan pada kepercayan masyarakat yang tinggi terhadap data yang berbicara dan keinginan untuk berbuat baik dengan semboyan berbagi air berbagi rejeki.

Peningkatan luas tanam  pada dapat dikonfirmasi dengan menggunakan Sistem Informasi Geografis (Nakagiri et al, 2013).

Ini adalah contoh konkrit bahwa pembagian air yang lebih baik dapat dicapai tanpa berfokus pada perbaikan fisik yang memanfaatkan teknologi tetapi mengutamakan pada pemanfaatan jaringan sosial dan nilai-nilai kemanusiaan.(bersambung ke seri 5/*)

Leave a Reply