Sejarah Pengelolaan Air Pertanian di Indonesia

Oleh : Prof. Dr. Ir. Dorothea Agnes Rampisela, M.Sc

AgnesSensei.com — Artikel ini merupakan seri ke-2 dari pidato berjudul “Sumber Daya Air : Kelimpahan, Kekurangan dan Keamanan pada Era Kemanusiaan ” pada upacara penerimaan jabatan Guru Besar dalam bidang pengelolaan air pada Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin di depan Rapat Senat Terbuka Luar Biasa Universitas Hasanuddin. Kamis, 18 Januari 2017 di Unhas, Makassar.

***

Pertanian membutuhkan air dalam jumlah yang besar. Sekedar illustrasi mari kita lihat berapa banyak air yang dibutuhkan untuk menumbuhkan padi seluas 1 hektar.

Kebutuhan air per hari adalah 6 mm/hari atau 60 m3 air/hari artinya untuk satu musim tanam padi (100-120 hari) dibutuhkan minimal 7000 m3 air.

Untuk memudahkan penggambarannya, jumlah air  ini sama dengan 700 mobil tangki air untuk luasan 1 hektar.

Luas persawahan di Makassar dan Gowa yang memperoleh air dari waduk Bili-bili adalah 23400 ha ini berarti jika tidak ada waduk Bili-bili maka diperlukan sebanyak 16.380.000 mobil tangki per hari.

Adalah mustahil untuk mengantarkan air dengan cara ini. Oleh karena itu manusia melakukan berbagai usaha untuk menyimpan, menampung dan mengalirkan air. 

Pembangunan dam adalah usaha terbesar manusia untuk menguasai atau mengelola atau mengontrol air.

Rekam jejak pembangunan dan pertumbuhan ekonomi Indonesia juga terbaca dengan jelas dari sejarah pengelolaan sumberdaya air yaitu pembangunan dam dan waduk serta jenis pemanfaatannya.

Dam besar yang pertama di Indonesia tercatat adalah Dam Butak yang dibangun pada tahun 1902 (Kementerian PUPR, 2015) di Sungai Jratun Seluna DAS Bengawan Solo.

Waduk yang tingginya hanya 5 m ini dibangun semata-mata untuk irigasi lahan pertanian seluas 125 ha.

Jumlah dam yang dibangun pada jaman kolonial Belanda dalam kurun waktu 1902-1944, ada 43 dam besar yang masih  berfungsi sampai sekarang. 

Seluruh dam dan waduk ini dibangun semata hanya untuk tujuan irigasi,  hanya ada 3 yang juga berfungsi ganda untuk PLTA.

Menjelang kemerdekaan dapat terlihat bahwa kondisi negara dalam keadaan tidak stabil selama 3 tahun yaitu tahun 1944 dan 1946 tidak ada satupun dam yang dirampungkan dan setelah kemerdekaan tahun 1946-1965 selama era Presiden Sukarno hanya 7 dam yang dibangun, hampir seluruhnya dimanfaatkan untuk kontrol banjir dan irigasi. 

Perampungan dam Jatiluhur (tinggi 105 m) di Sungai Citarum Jawa Barat pada tahun 1967 menandai dimulainya pembangunan Indonesia.

Dam pertama di Indonesia yang tingginya lebih dari 100 m ini mengairi 227.000 ha lahan pertanian dan adalah dam pertama dengan PLTA yang menghasilkan 150 MW.

Dalam era orde baru, sejak 1967 sampai 1998 selama lebih dari 30 tahun telah dibangun sebanyak 113 dam,  diantaranya pada tahun 1973 ada dam Riam Kanan  di Sungai Barito Kalsel yang merupakan dam pertama di luar Jawa dan dam pertama yang dimiliki oleh PLN. 

Beberapa dam bahkan dibangun khusus untuk menunjang kebutuhan listrik industri besar seperti dam Larona (1978)  di Luwu Sulsel dan dam Balambano (1999) adalah milik PT Inco (sekarang PT VALE) dan  setelahnya  dam Sigura-gura (1981), Tangga (1982) dan Siruar (1983) di Sungai Asahan adalah milik PT Inalum.

Dam Bakaru  di Sungai Saddang yang terletak di Kabupaten Pinrang yang menjadi sumber utama listrik kota Makassar dirampungkan pada tahun 1990.

Pemanfaatan air yang sebagian besar untuk PLTA menunjukkan bahwa Indonesia memasuki era industri dengan laju ekonomi yang tinggi.

Hampir semua dam besar dibangun pada masa ini di antaranya beberapa dam kontroversi seperti Wonogiri dan Kedung Ombo yang memerlukan relokasi penduduk besar-besaran. 

Hampir semua proyek pembangunan dam membutuhkan akuisisi lahan dan relokasi penduduk yang menghuni daerah terdampak.

Biasanya dam dibangun di wilayah pegunungan yang terpencil dan umumnya  masyarakat menggantungkan kehidupannya dari hasil pertanian. (Yoshida et al, 2014 dan Rampisela et al 2015).

Dam Bili-bili di Sungai Jeneberang adalah dam yang mulai dibangun pada era orde baru (Presiden Suharto) dan diresmikan pada tahun 1999 oleh Presiden Megawati. 

Dalam era reformasi sampai tahun 2003 dalam 4 tahun dirampungkan sebanyak 22 dam. Setelah itu implementasi pembangunan dam boleh dikatakan berjalan sangat lambat selama masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Karena dalam  jangka waktu 10 tahun (2004-2014) hanya 29 dam yang berhasil dirampungkan.

Ditinjau dari rencana pengelolaan sumberdaya air, masa pemerintahan Jokowi menjanjikan gairah pembangunan dengan melihat bahwa pembangunan dam kembali didengungkan dengan arah yang jelas yaitu prioritas dam skala menengah di luar pulau Jawa seluruhnya  65 dam  (2015-2019).

Pembangunan dari tepi luar Indonesia nampaknya akan konsisten ditinjau dari strategi pengelolaan air dengan indikator utama pembangunan dam.

Indonesia memiliki potensi sumber daya air yang sangat besar, yakni mencapai 3,9 triliun meter kubik per tahun. Potensi ini bisa dimanfaatkan untuk menunjang sektor pertanian, air baku bagi masyarakat perkotaan dan industri, pembangkit listrik, hingga pariwisata.

Untuk sektor energi saja, potensi sumber daya air tersebut bisa dimanfaatkan untuk pembangkit listrik tenaga air (PLTA) dengan total kapasitas 75 gigawatt (GW).

Lebih dari dua kali lipat program pembangunan pembangkit yang direncanakan pemerintah hingga 2019, yakni 35 GW.

Pemanfaatan air ini masih sangat rendah. Dari total potensi 3,9 triliun meter kubik per tahun, Indonesia baru bisa mengelola sekitar 691,3 miliar meter kubik. Artinya masih terdapat 3,2 triliun meter kubik per tahun atau sekitar 80 persen yang belum dimanfaatkan.

Saya berpanjang lebar pada kronologi dam dan pembangunan karena inilah puncak teknologi canggih, karena konstruksinya harus kedap air, jauh lebih sulit dari gedung pencakar langit.

Membangun dam untuk menguasai dan mengontrol air, membebaskan kita dari banjir, mengairi sawah, menyediakan air bersih dan tenaga listrik. Ini adalah lambang kemajuan teknologi.

Selanjutnya strategi peruntukan pembangunan pembangunan dam yang jelas pemanfaatannya untuk wilayah tertinggal di luar pulau Jawa bukanlah sekedar menjanjikan peningkatan ekonomi namun juga keadilan dan tujuan kemanusiaan lainnya.(bersambung ke seri 3/*)

Leave a Reply