Sumber Daya Air : Kelimpahan, Kekurangan dan Keamanan pada Era Kemanusiaan

Oleh : Prof. Dr. Ir. Dorothea Agnes Rampisela, M.Sc

AgnesSensei.com — Artikel ini merupakan pidato pada upacara penerimaan jabatan Guru Besar dalam bidang pengelolaan air pada Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin di depan Rapat Senat Terbuka Luar Biasa Universitas Hasanuddin. Kamis, 18 Januari 2017 di Unhas, Makassar.

***

Yang kami hormati Ketua, Sekertaris beserta anggota Senat. Ketua, sekertaris beserta anggota Dewan Professor. Rektor dan para wakil Rektor. Para Ketua Lembaga. Para dekan dan wakil Dekan Fakultas dan Sekolah Pascasarjana. Hadirin dan para undangan yang kami muliakan.

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah menganugerahkan perkenan, berkat dan perlindungan sehingga acara pidato pengukuhan ini dapat berlangsung dengan dihadiri oleh yang kami muliakan para undangan yang rela meluangkan waktu disela-sela kesibukannya.

Untuk itu kami haturkan terima kasih. Perkenankan saya menyampaikan pidato pengukuhan ini sebagai Guru Besar dalam bidang Manajemen Air sebagai refleksi diri dan renungan bagi diri saya sendiri dan sebagai bentuk pertanggungan jawab ilmiah saya ke pada masyarakat akademik dan khalayak.

Kristalisasi dari pengalaman saya sebagai pengajar dan peneliti serta pengabdi masyarakat dalam bidang Manajemen Air ini saya rangkum dalam judul : Sumberdaya Air, Kelimpahan, Kekurangan dan Keamanan pada era Kemanusiaan.

Air akhirnya harus dikelola untuk memanusiakan manusia dan mengindonesiakan Indonesia. Pengelolaan air akan berdampak langsung pada harkat diri manusia.

Pada akhirnya tiba pada keharusan untuk mengelolaanya demi kemanusiaan. Seperti lagu yang melegenda di Jepang (kawano nagare no you ni), bagaikan aliran air sungai saya juga telah mulai dari hulu dan mengalir ke hilir bersama air tanpa melawan arus dan mudah-mudahan juga tidak terhanyutkan. Sepanjang aliran sungai Jeneberang.

Air dengan rumus kimia H2O adalah satu-satunya benda yang dapat berbentuk padat, cair dan gas. Dalam bentuk cair, air mengikuti hukum gravitasi selalu mengalir ke bawah namun saat berubah menjadi bentuk gas atau uap air, benda ini justru bergerak ke atas.

Air juga adalah benda yang memiliki fleksibiltas tinggi, serumit apapun bentuk wadahnya air akan menyesuaikan bentuknya. Air adalah berkah yang luar biasa tetapi juga dapat menjadi bencana.

Sejarah kemanusiaan terkait air sudah berlangsung selama lima (5) millennium tahun mulai sejak zaman peradaban manusia sampai isu kekurangan air saat ini. Interaksi kita dengan sumberdaya yang terpenting ini sebenarnya mengakar dalam ke masa lampau dan semua budaya manusia terbentuk oleh hubungannya dengan air.

Setiap budaya manusia dibentuk oleh hubungannya dengan air dapat kita lihat sejak dari awal zaman berburu yang memahami bahwa menemukan air adalah kunci untuk bertahan hidup atau mati, sampai ke zaman Yunani dan Roma dengan aqueducts nya yang maha hebat yang masih mensuplai air ke kota-kota modern saat ini, dan menuju ke negara China yang rajanya membariskan tentara sebagai pekerja untuk menjinakkan sungai-sungai besar.

Abad pertengahan di Eropa dan revolusi industri membawa solusi baru yang cerdik untuk manajemen air dan telah mengubah air menjadi komoditas untuk dibeli, dijual, dan dieksploitasi, hingga detik ini kita masih tergantung sepenuhnya pada anugerah alam.

Brian Fagan (2011) seorang antropolog dalam bukunya Water and the Future of Humanity berdasarkan penelitian mendalam telah menuliskan dan menggambarkan usaha-usaha manusia dalam mengelola air dan menyimpulkan bahwa teknologi yang kita miliki untuk menyelesaikan masalah-masalah air dari satu masalah ke masalah lainnya masihlah belum memadai.

Dan sampai saat ini untuk menyelesaikan masalah krisis air ke depan pun kita masih tergantung sepenuhnya pada belas kasih alam mungkin kita sudah harus berbesar hati untuk kembali belajar menggunakan etos air atau spirit air dari nenek moyang kita.

Di sini saya ingin menceritakan salah satu bangunan air yang paling saya kagumi adalah fitur air yang bernama Hercules Monument di Wilhelmshöhe Mountainpark, Hesse Jerman.

Fitur ini adalah bangunan penampung air di bukit yang mengalirkan air dari kakinya melalui saluran dan bangunan yang indah mengairi lahan pertanian pada zamannya dan mungkin juga memasok air minum untuk masyarakat dan berakhir di depan istana raja dalam bentuk air mancur.

Ini berarti jika air tetap mancur maka sang raja bisa tahu bahwa air yang dibutuhkan oleh rakyatnya mengalir dengan baik. Teknologi penyimpanan dan pengaliran air yang sekaligus indah.

Sangat indah sehingga saat ini air dialirkan beberapa kali sehari hanya untuk menyenangkan turis. Seluruh wilayah telah diubah menjadi hutan konservasi dengan taman-taman luas nan indah yang menjadi tujuan wisata.

Bangunan ini jauh lebih berkesan daripada beberapa dam yang telah saya kunjungi seperti Attaturk dam (tinggi 169 m) yang megah atau Afsluitdijk (Belanda) yang membendung laut dan memisahkannya dengan air tawar bahkan dibandingkan dengan dam yang tertinggi di Jepang yaitu dam Kurobe (tinggi 161 m) yang megah.(bersambung ke seri 2/*)

Leave a Reply